rumahkreatifjogja.id – Tradisi adu kuda atau perkelahian kuda, yang dikenal dengan sebutan kapogiraha adhara dalam bahasa lokal, adalah sebuah atraksi budaya yang telah menjadi bagian integral dari warisan Kerajaan Muna di Sulawesi Tenggara (Sultra). Keberadaan tradisi ini sangat istimewa karena adu kuda yang digelar di Kabupaten Muna Barat adalah satu-satunya yang ada di Indonesia. Meskipun sudah berusia ratusan tahun, tradisi adu kuda ini masih tetap dilestarikan oleh masyarakat setempat, meskipun sudah mengalami beberapa perubahan dalam hal tujuan dan pelaksanaannya.
Pada awalnya, tradisi adu kuda ini diadakan sebagai bentuk penghormatan kepada tamu-tamu penting yang datang ke Kerajaan Muna. Ritual ini merupakan salah satu cara bagi para raja untuk menyambut tamu agung dengan memperlihatkan kekuatan dan ketangguhan kuda-kuda pilihan. Namun, seiring berjalannya waktu, adu kuda bukan hanya sekadar upacara penyambutan. Kini, tradisi ini juga sering digelar pada perayaan-perayaan besar seperti Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia, Hari Raya Idul Fitri, Idul Adha, dan acara-acara hajatan besar lainnya yang melibatkan masyarakat luas.
Keunikan Lokasi dan Frekuensi Pertandingan
Bagi wisatawan yang tertarik untuk menyaksikan langsung pertandingan adu kuda yang sarat dengan nilai budaya ini, salah satu tempat terbaik untuk mengunjunginya adalah Tanah Lapang Wakantei yang terletak di Desa Latugho, Kecamatan Lawa, Kabupaten Muna Barat. Lokasi ini dikenal sebagai pusat pelaksanaan tradisi adu kuda yang rutin diadakan hampir setiap bulan. Sebagai sebuah hiburan rakyat, acara ini tidak hanya dinikmati oleh penduduk lokal, tetapi juga menarik perhatian wisatawan domestik dan internasional.
Akses menuju tempat ini cukup mudah dijangkau dari Kota Raha, ibu kota Kabupaten Muna, yang berjarak sekitar 20 kilometer. Perjalanan menuju lokasi dapat ditempuh menggunakan kendaraan roda dua atau roda empat dengan waktu tempuh sekitar 30 hingga 40 menit. Selain menyaksikan adu kuda, pengunjung juga akan merasakan suasana alam Muna yang khas, dengan lanskap alam yang asri dan tenang.
Persiapan dan Pelaksanaan Adu Kuda
Adu kuda melibatkan dua ekor kuda jantan dewasa yang memiliki ukuran tubuh yang seimbang. Kuda-kuda yang ikut serta dalam pertarungan ini harus memenuhi beberapa persyaratan ketat. Salah satunya adalah kuda-kuda tersebut harus dilatih secara khusus oleh pemilik atau pawangnya, untuk memastikan mereka memiliki kekuatan fisik dan naluri bertarung yang tajam. Pawang, yang merupakan tokoh kunci dalam tradisi ini, memainkan peran penting dalam mengendalikan jalannya pertarungan dan menjaga keselamatan kuda-kuda yang bertarung.
Baca Juga:
Sejarah Tradisi Karapan Sapi Dari Madura Jawa Timur
Selama pertandingan, pawang bertanggung jawab untuk memberi komando kepada para pengendali kuda agar dapat memisahkan kuda-kuda yang terlibat pertarungan jika sudah terlalu agresif. Tugas ini sangat penting untuk mengurangi risiko cedera yang dapat terjadi pada kuda. Bahkan, jika salah satu kuda menunjukkan tanda-tanda kelelahan atau sudah tidak mau bertarung lagi, pawang akan segera memerintahkan agar tali kekang ditarik untuk menghentikan pertandingan.
Dinamika Pertarungan dan Aturan yang Diterapkan
Dalam pelaksanaan adu kuda, terdapat aturan sederhana namun tegas yang mengatur jalannya pertarungan. Sebagai contoh, kuda-kuda yang bertarung hanya diperbolehkan saling mengadu tendangan di udara. Tendangan yang dilontarkan oleh masing-masing kuda akan saling bertubrukan, menciptakan peristiwa yang dramatis namun terkendali, berkat peran pawang yang sangat terampil. Inilah salah satu ciri khas dari adu kuda di Muna yang membedakannya dari jenis atraksi serupa di daerah lain.
Proses perkelahian ini dimulai dengan munculnya kuda jantan yang besar dan gagah, yang secara insting akan mendekati sekumpulan kuda betina. Naluri alamiah kuda jantan ini mendorongnya untuk mempertahankan kelompok betina, yang kemudian memicu perkelahian sengit antara dua kuda jantan. Kejar-kejaran dan tendangan keras pun menjadi pemandangan yang menarik perhatian penonton.
Pengobatan Luka dan Tradisi Penyembuhan Kuda
Setiap perkelahian dalam adu kuda tentunya menimbulkan luka-luka pada kuda-kuda yang terlibat. Namun, masyarakat Muna memiliki cara unik untuk merawat kuda-kuda yang terluka. Luka yang ditimbulkan akibat tendangan atau gigit-gitan biasanya akan diobati dengan campuran karbon yang diambil dari baterai bekas, dicampurkan dengan minyak tanah. Campuran ini kemudian dioleskan pada luka untuk menghentikan pendarahan dan mempercepat proses penyembuhan. Hal ini menunjukkan betapa kearifan lokal masyarakat setempat dalam merawat hewan ternak mereka.
Antusiasme Penonton dan Risiko Pertarungan
Acara adu kuda tak jarang juga menghadirkan momen yang penuh ketegangan, tidak hanya bagi kuda yang bertarung tetapi juga bagi para penonton. Meskipun pengendalian yang hati-hati dari para pawang dan pemegang tali kekang, terkadang ada saja penonton yang menjadi korban akibat kecelakaan yang disebabkan oleh reaksi agresif kuda. Oleh karena itu, meskipun penuh dengan hiburan dan drama, penonton diingatkan untuk selalu berhati-hati dan menjaga jarak dari area pertarungan.
Warisan Budaya yang Masih Dilestarikan
Adu kuda Muna bukan hanya sekadar tontonan, melainkan sebuah simbol dari kekuatan tradisi dan warisan budaya yang telah ada sejak zaman kerajaan. Seperti yang disampaikan oleh La Ode Abjina, seorang pawang kuda yang sudah berpengalaman, “Adu kuda ini dimulai dengan perebutan betina. Zaman dulu, acara ini merupakan hiburan bagi para Raja di Muna. Saat ini, tradisi ini masih kami jalankan dan menjadi satu-satunya yang ada di Indonesia.” Pernyataan ini menegaskan betapa pentingnya menjaga dan melestarikan tradisi yang telah diwariskan dari generasi ke generasi.
Melalui pelestarian tradisi ini, masyarakat Muna tidak hanya menghormati leluhur mereka, tetapi juga memperkenalkan budaya unik mereka kepada dunia luar. Adu kuda di Muna adalah simbol dari kekuatan lokal yang mampu bertahan di tengah perubahan zaman, dan tetap menjadi bagian yang tak terpisahkan dari identitas budaya Sulawesi Tenggara.